Thursday, March 18, 2010

memori daun pisang

pernah suatu siang kita berbagi tanah dan daun pisang, serta kadal yang bertanya tanya dengan lidahnya di sudut pemancingan. Aku hanya tau hari itu aku merasa hujan, meski panas membakar tengkuk dan ujung kaki kita. Akhirnya kita punya memori daun pisang juga, hahahahaha..

kalau pernah kuceritakan pada sahabat sahabatku dulu bahwa tidaklah mungkin pada suatu masa seperti hari ini aku akan bercengkrama denganmu seperti ini, maka hari ini dapat kutertawakan hari itu. Bahkan kaupun bisa ikut tertawa. Karna kau pasti masih ingat, betapa dulu kita selalu berselisih paham. Bahwa begitu banyak prasangka dan tanya yang kusimpan untukmu.

Bear, aku tau cinta sudah menyapa kita lagi. Tapi sekarang aku merasa bisa menyebutmu sahabat. Karna bagaimana bisa kubagi segala bodoh dan kurangnya aku seperti malam itu, kala bagai buku kau membacaku, dan aku bagai pustakawan menyerap setiap jengkal kata yang kau bacakan tentangku. Aku bahkan jauh dari tersinggung. Aku tertawa, berbagi kekhawatiran, dan meminta bantuanmu untuk tidak lupa padaku kalau suatu hari aku jadi ROBOT.

Oh, aku takut sekali aku akan jadi robot. Jadi ingat segala mimpi bapak bapak pembuat film itu, tentang bagaimana kita di masa depan nanti. Aku mulai curiga, jangan jangan kita lah yang jadi robot, bukan kita yang digantikan dengan robot.

huh... aku sudah mengira dari dulu. Bahwa caci maki dan tinju dari orang orang itu dapat mematikan rasa simpatiku terhadap sesuatu. Aku bahkan terkadang tak menemukan alasan untuk iba. Matikah aku Bear?

Apakah kau yang mengatakan cinta padaku hari ini bersedia menerima sisi diriku yang mati itu? Oh aku tidak mau hidup sendirian.. sungguh tidak mau..

Bear, tolong kirimkan aku getah pisang dan daun yang mengotori rokku waktu itu. Agar aku ingat bahwa aku pernah merasa damai dan manusia di sana..